Bandeng; Sebuah Curahan Hati


Pagi itu matahari begitu indah sehingga warna kuningnya menjadikan kota ini menjadi semakin indah, dihiasi guratan kuning yang menyerupai emas, membuat setiap insan yang melihat berdecak kagum pada Sang Rabb semesta alam.

Dipagi yang cerah ini masih saja bayangmu bersemayam di sudut otakku. Kadang aku heran, bagaimana bisa bayangmu tak mau beranjak dari pikiranku, walau hanya sedetik. Sehingga saat ini bayangan itu menjadi sangat berarti bagiku, bahkan bisa dikatakan sebagai sebagian dari yawaku, entah akan terjadi hal yang seperti apa jika bayang itu beranjak dari pikiran dan hatiku, mungkin saja aku akan sesak napas, lalu mati, atau mungkin saja tidak. Entahlah aku juga tak tau jawabannya, biarkan waktu yang akan menjawab.

Perut ini terasa sangat melilit, seperti hari biasa aku pergi kesebuah kedai, tanpa basi-basi aku memesan Nasi bandeng dan Es Teh. Aku duduk di pojok kedai ini, dan aku masih berpikir tentang sosok yag tadi, aku berfantasi, jika saja pagi ini aku makan bersamanya, pastilah pagi ini akan menjadi lebih indah. Bahkan lebih indah daripada guratan kuning yang tergantung di atas langit sana.

Bandeng ini terasa sangat nikmat, hati-hati aku memilih daging, agar tulang-tulang itu tidak menusuk kerongkongan dan mulutku. Saat ini bayangan ini masih di otakku, menghiasi detik demi detik kehidupanku. Sungguh indah. Tersentak diriku oleh sebuah tulang tajam menusuk kerongkonganku. Sakit sekali, sehingga membuyarkan pikiranku, bayangn itu tak mau beranjak dari otakku, namun ada hal yang lebih penting dipikirkan daripada bayangan itu. Tentang bagaimana mengeluarkan tulang itu dari kerongkonganku.

Tulang itu dengan sangat pas tertancap di belakang amandelku, sungguh menyakitkan. Saat itu aku lihat seorang lelaki tua tertawa karena bercanda dengan lonthe kacangan kota ini, di sudut lain nampak sekelompok anak kecil terbahak-bahak karena bermain kartu Domino. Ingin aku pukul mereka, mereka tak bisa merasakan penderitaanku ini. Harusnya mereka bersyukur karena tidak merasakan betapa sakitnya kerongkongan ketika ditusuk tulang.

Aku berpikir bagaimana caranya tulang itu bisa keluar dari kerongkonganku. Bahkan ketika aku diberi pilihan, antara sosok orang itu atau tulang bandeng itu bisa keluar dari kerongkonganku. Jujur saat itu aku tidak bisa menjawabnya. Karena kedua hal itu sangat berpengaruh bagiku. Diantara dua hal yang bisa mempengaruhi nyawaku. Tulang yang menancap itu telah membuat napasku tersengal-sengal, demikian juga halnya jika sosok orang itu pergi dari kehidupanku. Entahlah…

Sekian lama aku berusaha mengeluarkan tulang bandeng itu, minum air sebanyak mungkin, makan pisang, makan segumpal nasi, apapun aku makan agar tulang itu mau beranjak dari kerongkonganku. Sampai pada akhirnya, dengan kuasa tuhan mungkin, tulang itu hanyut bersamaan dengan secuil roti yang diberi lelaki yang tua yang selalu bercanda sua bersama lonthe kacangan kot ini.

Sungguh lega, akhirnya aku bisa bernafas dengan bebas, memang pada dasarnya manusia itu bebas, sehingga dia bisa bernafas dengan lega. Kini aku harus lebih berhati-hati, yang ternyata penderitaan itu bisa datang kapan saja, bahkan bisa datang dari suatu kenikmatan-daging bandeng.

0 Komentar:

Faforit

Jam

Copyright © Aufklarung
Design by xhrftk & xhr-production